Hidup di zaman seperti sekarang ini rasanya akan sangat susah sekali untuk menemui orang yang menolak jika ditawari uang dalam jumlah yang sangat besar, namun lain halnya dengan seorang kakek bernama Suhendri yang memilih untuk menolak uang Rp 10 Miliar yang hendak diberikan kepadanya.
Uang sebanyak itu tentunya sangat menggiurkan untuk dimiliki. Suhendri, pria paruh baya yang telah berusia 78 tahun asal Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ini berharap hutan buatannya di tengah di tengah Kota Tenggarong akan terus dijaga dan dirawat.
Alasannya, perjuangan untuk menyediakan oksigen bagi masyarakat Tenggarong yang telah dirintisnya sejak 1986 itu sudah melalui cobaan yang tak mudah.
“Saya menyiapkan oksigen bagi masyarakat di kota ini,” kata suhendri.
Kakek tolak uang Rp 10 Miliar untuk lahannya yang seluas 1,5 hektar miliknya itu ia menyebutkan salah satu pengalaman yang tak akan pernah ia lupakan.
“Saya tidak jual. Saya harap ada orang yang bisa melanjutkan merawat hutan ini meskipun bukan keluarga saya,” ujar Suhendri.
Suhendri juga mengungkapkan, niat dirinya untuk menjaga lingkungan dengan menanam pohon di tengah kota sudah tertanam dalam hati.
Godaan para investor yang menawar akan membeli lahan seluas 1,5 hektar untuk dijadikan sebuah perumahan pun tak mempan untuknya.
“banyak yang datang mau beli, tapi saya tidak mau. Apalagi mau bikin perumahan, saya tidak mau, lingkungan rusak,” ungkap Suhendri.
Awal mula perjuangan Suhendri kakek dua anak ini menceritakan, saat pertama kali menginjak tanah Kalimantan timur pada 1971.
BACA JUGA: Kisah haru sang kakek berjualan ikan asin untuk hidupi istrinya yang sedang sakit
Dia kemudian bekerja di sebuah proyek pembangunan aseama milik perusahaan kayu. Saat itu juga bisnis kayu sedang marak-maraknya.
Motivasinya muncul pada saat dirinya menyaksikan kayu ditebang, berhektar-hektar hutan gundul tanpa sisa.
“Dari situ muncul motivasi. Saya akan merawat hutan. Saya kemudian beralih jadi petani, tapi garap lahan orang lain,” ujar dia.
Lalu, suhendri melanjutkannya pada tahun 1979, dirinya membeli lahan seluas 1,5 hektar. Saat itu ia membeli dengan harga Rp. 100.000.
Kemudian lahan tersebut ia gunakan untuk bertani dengan konsep pertanian agroforestri, yaitu menggabungkan pepohonan dengan tanaman pertanian.